DUA KURIR BUTA AKSARA





Senja menyinari di ufuk barat diatas danau Paniai, bunyi jangkrik bertanda hari sudah mulai gelap. Kebagiuwa (56) dan Dedetuma (54) dua orang warga kampung Papato, sebelah barat lereng gunung Ngelapigupa (Puncak Jaya), mereka berbusana asli koteka dan tidak berpendidikan. Sedang pulang dari menanam dan menuai keladi di ladang mereka, lembah Weadide. Ditengah jalan mereka dipanggil oleh Komandan Pos V yang bermarkas di Desa Uwibutu.
“Ssssst kemari kau”.
Kata seorang anggota tentara yang bertugas di depan pos militer dari kesatuan non teritorial di Desa Uwibutu.
“Setiap saat jika kalian keluar dari kampung ini, terlebih dahulu harus meminta ijin dari petugas di pos kami dan mengapa kalian tidak memintah ijin?”.
Sambung petugas, sambil menyodorkan senjata berlaras panjang di hulu dahi mereka. “Maaf pak, kami warga kampung disini, biasanya kami bebas bepergian kemana saja sejauh kami tidak menjangkau ke Desa lain”
jawab Dedetuma yang lebih muda dan sedikit mengerti bahasa melayu, walau dengan nada yang terpata-pata.
Bagi Weadide saban hari rakyat diwajibkan untuk lapor ke pihak keamanan terutama segala aktivitas diluar gedung, baik ke kebun, pasar, gereja dll. Lain halnya bagi rakyat yang bepergian ke desa atau kecamatan lain harus di sertai dengan surat keterangan jalan (SKJ) dari pemerintah daerah asal.
“Kini kalian tinggal dimana ?”.
“Tinggal di kampung Papato pak”.
“Papato?”,
“ya pak”.
“Kampungmu itukan pusat aktivitas dan pengatur siasat bagi gerilyawan di hutan, bukan?”.
“Bukan pak”.
“Bukan bukan!, kini aku tahu bahwa kalian termasuk gerombolan yang ikut mengacaukan kota Enarotali, kalian harus disiksa”.
“Sungguh pak, sungguh jangan pukul pak, ackkkkk, jangan pak, tolong jangan siksa kami ackkkkkk”. (Oleh : Tinus P)
Selengkapnya...