PENGANTAR
Hendak kemana masyarakat adat pegunungan tengah papua, ini jelas mengandung sebuah pertanyaan, dan ini mungkin juga menjadi satu keprihatinan dari anak-anak pegunungan tengah yang membentuk dan tergabung dalam AMPTPI tetapi pertanyaan ini pernah juga menjadi tema utama dalam seminar-seminar yang diselenggarakan oleh anak-anak Pegunungan Tengah yang tergabung dalam Forum Lorentz di Semarang antara tahun 1999-2002, yang akhirnya juga telah menghasilkan satu tulisan yang berjudul Pemberdayaan Masyarakat Pegunungan Tengah Papua yang juga diterbitkan oleh Forum yang sama di tahun 2002. ini dapat dilihat dari dua sisi, satu sisi adalah sebagai refleksi dari Mahasiswa/ Masyarakat Pegunungan Tengah Papua terhadap proses pembangunan yang dilaksanakan di daerahnya yang terkesan mulai meminggirkan peranan mereka sebagai Manusia Utama/Manusia sejati yang adalah sasaran utama pembangunan serta pemilik utama dari tanah Pegunungan Tengah Papua. Mereka yang seharusnya menjadi sasaran dan target utama dari pembangunan namun akibat sistem pembangunan yang sentralistik dan menjadikan kepentingan nasional sebagai prioritas perhatian utama dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan, maka terabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat yang adalah masyarakat Pegunungan Tengah, padahal ini merupakan hal yang menentukan “suka-duka, tangis-tawa, dan hidup-mati” masyarakat dalam mengisi dan melanjutkan hidup serta melakukan interaksi sosial dengan golongan masyarakat yang lain. Disisi lain pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan masyarakat yang mau disampaikan kepada pelaksana pembangunan (baik orang gunung maupun non orang gunung) yang sedang dan akan melaksanakan pembangunan di kawasan pegunungan tengah papua baik itu, Pemerintah, Swasta Profit dan non profit, Apakah dengan pola pembangunan yang diterapkannya selama ini telah mensejahterahkan mereka, ataukah hanya membuat mereka tidak dihargai dan dihormati sebagai manusia?, berikut kami mencoba memberikan gambaran tentang proses pembangunan yang terjadi di Papua khususnya di Pegunungan Tengah Papua.

 PEMBANGUNAN DAN DEHUMANISASI 
Pembangunan yang benar adalah pembangunan, yang berwajah manusiawi, yang menjunjung tinggi martabat manusia adalah pembangunan yang menolak proses dehumanisasi. Proses dehumanisasi yang dimaksudkan di sini tidak hanya berarti sempit seperti pemusnahan manusia secara fisik lewat penganiayaan, pembantaian serta pembunuhan. Tetapi dehumanisasi dalam arti luas yaitu seluruh upaya dan tindakan yang mengakibatkan manusia lain, dalam hal ini manusia pegunungan tengah, tidak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki budaya lokal, yang memiliki hak-hak warisan leluhurnya, yang memiliki hak untuk bersuara, hak untuk menentukan pilihan dan cara hidup yang merupakan ekspresi dirinya dan sebagainya. Akibat dari itu proses pembangunan yang telah kita tempuh pada masa lalu dan mungkin juga masa kini, semua kita telah pahami bahwa hampir seluruhnya berkarakter eksploitatif dan memarginalkan peran masyarakat pegunungan. Masyarakat pegunungan tidak dianggap tuan atas tanahnya, hutannya dan seluruh kekayaan alamnya. Mereka tidak lebih dari pada orang bodoh, orang terkebelakang, orang zaman batu, badaki, bau busuk tidak tau mandi, orang tidak beradap dan seribu satu macam stigma yang dikenakan padanya. Disamping itu, untuk tidak ingin membangun sering sekali kita mendengar bahwa alasan kondisi geografis yang berat, Sumber Daya Manusia yang terbatas, investasi yang tinggi merupakan kendala untuk melakukan pembangunan di daerah Pegunungan Tengah. Betulkah demikian? kalau memang demikian pertanyaannya adalah, Mengapa untuk membabat hutan karena tergiur dengan kekayaan kayu atau berbagai jenis pertambangan sekian banyak penjuru yang juga tidak luput dari jurang dan ngarai ataupun rawa dapat ditelusuri dengan berbagai macam alat berat? Bukankah persoalan pokoknya adalah orientasi pembangunan yang melulu tertuju pada benda, pada kekayaan, pada perubahan fisik dan bukan pada pengembangan potensi manusiawi? Disisi lain ada juga pihak yang membuat terobosan kepada orang pegunungan tengah, tetapi masyarakat harus hanya berada di pihak yang boleh atau perlu dikasihani oleh para orang kaya dan orang orang pintar dan berkuasa, dengan berbagai pemberian berupa barang-barang konsumsi atau sekedar beasiswa, pelayanan gratis, kesempatan berusaha yang cendrung disebut-sebut sebagai bukti perhatian dan keberpihakan, padahal kebanyakan dari "pemberian-pemberian" itu cenderung merupakan tipu muslihat dermawan palsu yang dilakukan sekedar mengelabui proses eksploitasi yang dilakukan secara habis-habisan. Contoh kasus Dana 1% adalah hal yang nyata; Apakah pemberian itu sebagai upaya yang jujur demi kemanusiaan? Sepintas memang kelihatan kita diperhatikan tetapi menurut saya karena kesemuanya itu tidak dilandasi sikap dan pemikiran dasar bahwa masyarakat setempat pantas dan berhak mendapatkannya karena merekalah yang menjadi tuan dan pemilik (sosial) atas dirinya dan kekayaan alam di alam kehidupannya itu. Jadi bukan soal belaskasihan, tetapi soal hak. Dalam kasus ini juga telah membuat terbentuk kelompok yang dikenal dengan sebutan kelas atau kelompok menengah, dan peranan ini kadang dimainkan oleh orang terpelajar baik yang bertitel sarjana atau tidak, yang berpengalaman atau sekedar pernah ke kota, mereka itu selalu ada kecenderungan untuk menjilat ke atas (penguasa dan pemilik dana) dan menekan ke bawah (saudara sekampungnya). Proses seperti itu sering terjadi karena dikatrol atau mendapatkan rejeki mendadak atau belaskasihan dari mereka yang berkuasa. Itulah yang membuat kelompok ini selalu menjalankan dan mengabdi pada kebijakan mereka yang menarik mereka, bahkan lebih buruk mereka adalah kurang lebih sebagai penghapus dosa, atau boneka dari pihak yang menarik ke atas dan bukan sebagai agen perubahan pada masyarakat kampung yang melahirkannya yang merupakan perpangkalannya.

  PEMBANGUNAN YANG RELATIF TEPAT 
Pembangunan dilaksanajan adalah untuk menjawab tiga pertanyaan dasar yaitu: apa, bagaimana dan untuk siapa pembangunan itu dilakukan. Jadi, jelas sekali pembangunan itu harus merupakan jawaban terhadap pertanyaan apa, bagaimana dan untuk siapa suatu hal itu dilakukan. Jawaban itu harus berkelanjutan karena walaupun pada tataran paradigma dan model pembangunannya diandaikan bersifat jangka panjang, karena memang lebih bersifat abstrak, namun karena pembangunan itu berpusat pada manusia dan kehidupan konkritnya maka setiap saat langkah-langkah konkrit yang dikerjakan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara etis. Itu berarti secara terus menerus dan untuk setiap kegiatan harus jelas bahwa kegiatan pembangunan tertentu itu tidak berakibat buruk terhadap harkat dan martabat manusia yang menjadi tujuannya. Secara lebih sederhana jawaban berkelanjutan itu maksudnya bahwa apapun yang dilakukan harus selalu direfleksikan, evaluasi dan disempurnakan. Apalagi tidak pernah ada perubahan yang secara seratus persen memuaskan semua orang secara merata. Untuk jangka panjang diharapkan bahwa dengan selalu merefleksikan proses dan dampak dari hasil akhir suatu pembangunan kita dapat mempertahan entitas/entity suatu kelompok masyarakat dari pengaruh luar yang mungkin saja mengancam jati diri kelompok masyarakat tersebut. Namun sebaiknya di kembangkan suatu pola bagaimana manusia yang mempunyai akal, rasa, kehendak untuk mengubah dirinya sendiri sedikit lebih maju dari kehidupannya selama ini. Realitas penduduk Pegunungan Tengah yang demikian membuat oleh mereka yang merasa diri maju mereka disebut orang koteka, orang hitam, orang asli, orang primitif atau orang "Zaman Batu". Karena adanya aneka sebutan itu, Manuel Kaisiepo dalam buku “Pembangunan Masyarakat Pedalaman Irian Jaya” “memperingatkan” kepada para ahli kebudayaan bahwa dalam membicarakan masyarakat dan kebudayaan yang kita anggap primitif, terlebih dahulu disingkirkan dua salah paham, pertama bahwa "Kaum Romatik" yang memandang manusia primitif sebagai manusia purba, masih berjiwa sederhana seperti kanak-kanak dan selalu hidup dalam dunia mitos. Kedua, rasa superior dari zaman rasialisme yang memandang rendah kebudayaan dan alam pikiran masyarakat primitif karena dianggap irasional dan tidak ilmiah. Lebih jauh Manuel Kaisiepo mengemukakan bahwa kedua salah paham ini dapat menggiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam memahami masyarakat tersebut dan itu telah diikuti dengan baik oleh pemerintah dan swasta yang datang ke Papua, tetapi akhirnya diakui oleh para ahli antropologi, bahwa “walaupun alam pikiran masyarakat primitif itu memang lain dari alam pikiran masyarakat modern, namun akhirnya ternyata dalam setiap bahasa manusia dan semua pola sosial entah modern entah primitif akan kita temukan garis-garis yang sama, susunan-susunan logis yang sama.” catatan peringatan ini sengaja ditandaskan kembali, karena yang kita bicarakan adalah suatu masyarakat manusia, bagaimana primitifnya, tetapi mereka adalah “manusia yang mempunyai alam pikirannya sendiri” mempunyai sistem religio filosofinya sendiri, melalui mana mereka memahami dan menafsirkan dunia sekelilingnya, menjadi pedoman sikap dan pola perilaku dalam menjalankan kehidupan ini, dan semua ini sudah berlangsung sejak leluhur manusia. Masih menurut Kaisiepo bahwa konsep-konsep pembangunan model apapun haruslah bermakna bagi masyarakat itu sendiri yang berada dalam tingkat kesadarannya sehingga tanpa dipaksa pun dia akan tergerak dengan sadar untuk ikut melaksanakannya. Tanpa hal itu mereka akan apatis, bahkan mungkin menolak semua unsur modern yang coba dikenakan padanya lewat berbagai program pembangunan yang dilaksanakan. Akhir dari apa yang dikemukakan di atas bahwa konsep pembangunan model apapun yang hendak dilaksanakan hendaknya bisa menangkap alam pikiran, nilai-nilai dan aspirasi masyarakat itu sehingga pembangunan itu dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna dalam kehidupan mereka melalui orang dan wadah sebagai wujud kekuatan kolektif masyarakat yang benar-benar berasal dan mengabdi pada kepentingan masyarakat adat itu sendiri. 

PELEMBAGAAN KEKUATAN MASYARAKAT ADAT 
Menumbuhkan kekuatan kolektif masyarakat adat adalah merupakan infrastruktur kebangkitan Papua masa depan. Hal itu perlu dilakukan dengan jalan pembentukan Dewan Adat/lembaga adat di suku-suku di Pegunungan Tengah seperti: Amungme,Dani,Lani,Wolani, Moni, Mee, Damal, Nduga yang benar-benar dibentuk berangkat dari perpangkalan budaya suku itu, bukan hanya sekedar akta notaris, yang basenya didalam map, noken atau dalam bantal, sehingga hal itu diketahui terbuka oleh masyarakat adat suku tersebut, dan lebih penting adalah agar lembaga itu lahir dari mereka dibesarkan oleh mereka dan untuk kepentingan masyarkat adat itu sendiri, menindaklanjuti pembentukan itu perlu dikembangkan Forum-forum dengan materi-materi penyadaran yang mempertemukan kalangan terdidik modern dengan para kepala suku untuk membangun visi bersama perlu dibuka seluas-luasnya. Kontradiksi paradigmatis dan konflik nilai antara yang sudah mapan-tradisional dengan yang baru dan moderen , selalu, dan pasti akan terjadi di masa depan, namun ruang dialog antara manusia yang memiliki pengetahuan ilmiah dan alamiah mesti segera dibuka. Agar dengan itu dapat dibangun pandangan yang lebih rasional. Masyarakat Pegunungan Tengah dalam sistem sosialnya sebenarnya sejak lama terbiasa dengan forum terbuka (Muna) yang menempatkan semua individu setara dan memiliki hak berpendapat yang sama. Di kalangan suku pegunungan, misalnya, diskusi dan perdebatan seringkali bisa memakan waktu berhari-hari untuk mencapai suatu konsensus sejati. Tradisi demokratis semacam ini seharusnya diperkuat dan diperbarui dengan wujud Lembaga Adat/Dewan Adat sebagai alat bagi orang Papua untuk konsolidasi dan rekonsiliasi. Tahap berikutnya adalah pelembagaan kelompok-kelompok masyarakat adat. Tokoh atau pemimpin informal tradisional (Dewan Adat) dan Intelektual Lokal (Guru, Pendeta, Pastor, PPL, Mantri Kesehatan dan lapisan terdidik lainnya) mesti mendirikan suatu lembaga yang berbasis pada struktur komunitas lokal dan memungkinkan kedua lapisan itu bisa bekerja bersama-sama. Tanpa mengabaikan atau bahkan menghapuskan struktur sosial tradisional yang ada, perlu dibentuk lembaga baru yang memberi ruang bagi operasionalisasi program-program pemberdayaan masyarakat adat dalam konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi baru. Lembaga ini akan membantu basis komunitasnya membaca dan mengambil sikap terhadap persoalan modernisasi yang dihadapi dan bahkan menimpanya. Dalam perkembangan politik lokal akhir-akhir ini di Papua, Dewan Adat sedang digiring pada situasi untuk melupakan kewenangan pokoknya yaitu; memperjuangkan hak-hak masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria, diatas dan didalam wilayah adatnya, pengaturan batas-batas wilayah adat antar suku serta penguasaan terhadap SDA suku, penyelesaian sengketa-sengketa antar suku serta upaya pelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat. Dengan adanya lembaga adat/dewan adat masing-masing kelompok suku yang bertikai dapat saling berbicara untuk menyelesaikan soal dengan berbicara satu sama lain, bukan dengan pengerahan massa dan melakukan perusakan. Jika massa menjadi andalan maka yang terjadi adalah hukum rimba dan ini hanya menguntungkan pihak-pihak yang menginginkan ketidakstabilan sosial dan politik di Papua. Hal ini dapat di raih dengan jalan Pemerintahan lokal papua yang dijalankan oleh anak-anak Papua, LSM-LSM besar di Papua seperti:YPMD, ELSHAM, FOKER LSM, Lembaga-lembaga adat di Papua perlu melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi bersama elemen masyarakat lainnya, termasuk Gereja-gereja di Papua. Konflik-konflik di tanah papua umumnnya bersumber dari aspek ekonomi, etnisitas dan agama harus segera diselesaikan pada tingkat Papua oleh para pemimpinnya secara bersama¬-sama. Seluruh elemen itu mesti membangun platform bersama yang mengakomodasi kepentingan eksistensi dan otonomi masyarakat adat, kebebasan beragama, dan pemberdayaan politik dan ekonomi. Dengan platform yang sama akan menjadi mudah bagi rakyat Papua untuk tawar menawar dengan kepentingan dari luar Papua baik kepentingan para pemodal, kekuasaan Jakarta, maupun hubungannya dengan pendatang. 

 PENUTUP 
Pilihan Pemekaran propinsi di Papua atau Otonomi Khusus Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah jaminan otomatis bagi pemberdayaan masyarakat adat baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun hukum, begitu pula dengan Pilihan Negara Papua Merdeka. Tidak satu pun mampu menjamin terselenggaranya kedaulatan rakyat, kesejahteraan sosial ekonomi, transformasi budaya yang otonom dan kreatif, atau pun kepastian hukum dan keadilan bagi mayoritas rakyat. Apa pun pilihannya, yang tetap dan paling diperlukan, dalam salah satu Pilihan sistem politik di atas, adalah bagaimana memberdayakan masyarakat adat secara benar karena Pemberdayaan masyarakat adat berarti pula pemberdayaan rakyat Papua secara keseluruhan karena sebagian besar rakyat Papua terdiri dari Masyarakat Adat. Jika masyarakat adat sudah terbangun dengan baik maka apa pun Pilihan sistem politiknya tidak menjadi masalah. Rakyat dengan sendirinya akan mampu secara otonom menjaga dan mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara. Pokok kunci masa depan Papua adalah adanya upaya serius untuk membangun konsep saling mengakui dan menghormati dalam suku-suku peguungan tengah papua akan hak-hak masing-masning pribadi,kelompok marga, kelompok suku terhadap, semua kekayaan baik kelihatan maupun tidak kelihatan, bagaimana rakyat melalui lembaga adatnya secara bersama¬-sama selalu berdaya upaya salaing melindungi,menopang dan memperjuangkan kepentingan mereka, bertahan menghadapi kelompok yang lebih kuat secara ekonomi, politik, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa ekspresi budaya dan nilai-nilai yang ada. Solidaritas pegunungan tengah Papua khusunya dan Papua umumnya sudah saatnya dibangun dalam kerangka baru melalui transformasi struktur sosial tradisional ke dalam paradigms baru yang melampaui batas sempit kekerabatan dan kesukuan menuju identitas dan kepentingan bersama. Kekuatan yang terbangun di dalam dan di antara masyarakat adat ini sangat vital untuk menentukan apakah masyarakat pegunungan tengah mampu secara bersama-sama dengan "daerah" lain membangun kehidupan Papua yang utuh, adil, setara dan demokratis, ataukah sebaliknya, dengan persatuan semu yang sedang kita jalani sekarang karena persatuan ada hanya karena situasi politik (issue politik) dapat memberi jaminan untuk kehidupan orang gunung papua yang bermartabat, karena kalau hanya dengan persatuan semu dan tidak adanya persatuan maka Papua akan terus ditinggalkan, dimanipulasi, dieksploitasi oleh elit-elit politik dan ekonomi, serta menjadi korban kepentingan dan kemajuan kelompok dan daerah lain. Mengakhiri tulisan ini satu pertanyaan tepat untuk diajukan yaitu Apakah yang membuka pintu bagi penindasan? Pasti ada banyak jawaban tapi menurut saya adalah Lemahnya kekuatan kolektif rakyat Papua untuk mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara melalui perangkat perundang-undangan yang ada dan memperjuangkan aspirasinya sendiri. Karena rakyat Papua tidak bersatu. Karena rakyat Papua belum mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam pertarungan politik moderen, karena itu kadang kita tidak lebih dari kelompok yang menjadi budak dari isu,situasi dan kepentingan, tanpa satu arah yang jelas. Jika masyarakat Papua telah memiliki kekuatan itu maka pelanggaran itu tidak dengan mudah terjadi. Suatu rejim yang paling otoriter pun akan berpikir sepuluh hingga seratus kali untuk menindas rakyat yang sudah sadar politik dan bersatu. ”Karena itu mari membangun sebuah rumah adat Emawa, Pilamo, Nduni, Ndone, Isorei yang benar-benar mangakar, bukan dibentuk untuk kepentingan sesaat karena terdorong oleh isu situasi ,kepentingan karena itu hanya sebuah wadah semu tetapi sesungguhnya untuk membangun kesadaran sebagai manusia sejati (menjalankan perintah dan menjauhi larangan) dan mampu menjadi rumah,istana dan harta yang berharga bagi keluarga besar Papua”(Tinus P) Agar mereka dalam Rumahnya dapat menentukan HENDAK KEMANA MEREKA HARUS DIARAHKAN OLEH SEMUA PIHAK. Oleh JOHN GOBAY Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai Selengkapnya...