Setelah Tragedi Washington pada tanggal 11 September 2001 yang dengan runtuhnya WTC simbol Kapitalisme Dunia dan sebagian gedung Departemen Pertahanan USA simbol Kekuatan Militer Dunia yang amat ditakuti. Sehari setelah tragedi paling wahid dengan menewaskan tidak kurang dari 5000 orang tak berdosa, istilah terorisme cepat membahana bagai jugernut yang meluncur diatas aspal yang licin, tanpa mengalami hambatan terorisme menjadi musuh dunia.
Beberapa waktu lalu, pemerintah dalam hal ini kementerian pertahanan mulai merangcang skenario baru bagi wilayah-wilayah konflik supaya mengaktegorikan dalam kelompok teroris agar dengan mudah dan bebas menggunakan kekuatan senjata untuk menghancurkannya. Sehubungan dengan itu, dukungan negara kita terhadap kampanye USA mengenai terorisme sebagai musuh tersebut, jika kita klasifikasikan maka ada tiga kelompok dengan motif yang berbeda; Pertama, bermotif ekonomi, teroris dapat menghancurkan sumber-sumber ekonomi yang dapat mengancam resesi global dan goyahnya penetrasi kapitalisme yang cukup lama berkiblat ke Amerika dan Eropa; Kedua, Kelompok Islam radikal yang berkiblat ke negara-negara Arab memandang terorisme sebagai upaya mengdiskreditkan peradabaan timur dan religi islam. ketiga, Sebagai negara yang memiliki kaum rebelian yang mengancam keutuhan wilayah, maka seketika itu pula membentuk aliansi strategis anti terorisme bagi kawasan yang berada di satu lintasan seperti Philipina , Indonesia, Malaysia.
Philipina menganggap dengan kampanye terorisme Amerika tersebut, dapat dengan mudah membasmi gerakan perjuangan kaum islam militan (MNLF) di pulau Mindanao, sedangkan Malaysia dapat membendung kelompok islam radikal yang dapat mengganggu kesatuan dan keharmonisan hidup antara bangsa Melayu dan pendatang (Cina, India), bagi Indonesia memiliki masalah-masalah dengan motif yang berbeda misalnya Aceh dan Papua memiliki ketidakharmonisan soal politik dan sosial, Poso dan Ambon terjadi benturan agama Islam dan Kristen (religi) serta disparitas regional yakni Jawa dan Luar Jawa. Semuanya merupakan instabilitas politik yang mengancam disintegrasi bangsa.
Kalau Indonesia dengan kompleksitas masalah dalam berbagai dimensi maka bagaimana kita memandangnya dan apakah harus menyelesaikan dengan gaya anti-teroris seperti yang diperagakan oleh negara adi kuasa Amerika?, Dan apakah perjuangan kaum bersenjata di Aceh dan Papua yang meminta pengakuan hak-hak kebangsaan (the national rights) mereka baik politis dan ekonomi dikategorikan sebagai teroris?, atau apakah konflik antara anak rantau dan bumi putera di Kalimantan yang karena sebungkus nasi demi mempertahankan hidup adalah teroris?, Riau yang merana diatas kelimpahan sendiri di katakan teroris? Atau perjuangan karena mempertahankan agama (religio-nasionalisme) di Poso dan Ambon dikelompokan kaum teroris?. Barangkali pertanyaan visioner ini menawarkan untuk melihat konfigurasi konflik yang mungkin dapat mengubah wajah Indonesia di masa mendatang, sekaligus menjadi inspirasi yang berharga untuk mencari penyelesaiannya yang cermat, cepat dan tepat.
Kekaburan kita memandang intensi dasar perjuangan suatu kelompok akhirnya menjurus pada teror yang laten dan tidak berkesudahan. Sebenarnya makna terdalam perjuangan tiap elemen yang melakukan terorisme memiliki kemauan yang baik seperti amanat seorang sosiolog ternama John Galtung bahwa intensi dasar kekerasan terjadi karena perbedaan antara realitas dan idealitas, bahwa kenyataan yang terjadi dilapangan berbeda dengan yang diharapkan sehingga kekerasan merupakan ekspresi atas kekecewaannya. Namun yang menjadi persoalan adalah adanya pihak-pihak tertentu yang mendalanginya (the invisible hand).
Kalau konflik tersebut didalangi maka adalah terorisme, sebab ia memiliki jaringan-jaringan perjuangan yang dapat menembus batas-batas wilayah dan negara. Sesunggunya terorisme harus di lihat sebagai perjuangan sebuah ideologi yang besar, kesamaan nasib dan perjuangan yang sudah mengkristalisasi secara mondial. oleh karena itu, kelompok radikal yang muncul di Jakarta dan daerah lainnya, yang hanya sekedar demi fanatisme religi adalah bisa di kategorikan sebagai terorisme sebab religionalisme adalah bagian dari ideologi internasional dan modial, serta memiliki jaringan mendunia pula. Namun kalau kita mengklaim separatisme yang ada sebagai perjuangan kaum teroris adalah keliru, sebab perjuangan kemerdekaan suatu wilayah telah diakui sebagai the self determination of the right.
Bagi Aceh dan Papua mereka memiliki jaringan internasional, namun hal itu dalam rangka diplomasi politik, untuk meminta dukungan dari negara lain, dan kedua daerah itu tidak bisa disamakan dengan perjuangan separatis di Pilipina Selatan yang menghubungkan dengan jaringan terorisme dunia. Karena itulah maka perlu redefinisi mengenai terorisme di Indonesia. Agar tidak terlambat sebelum kita melangka.
Intensi Dasar Konflik
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi yang memiliki labilitas politiknya tinggi, wilayah kartografis yang amat luas dan besar barangkali dapat berpotensi menguaknya tribalisme yang menjurus pada perebutan sumber-sumber wilayah atau kepentingan (konflik pusat – daerah). Konflik yang terjadi di kita sesungguhnya disebabkan oleh dua hal; Pertama, kemajemukan horisonal yakni seperti suku, bangsa, agama, ras, dan masyarakat majemuk secara horisontal dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi; Kedua, kemajemukan vertikal seperti struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahun dan kekuasaan. pemikiran ini menambah pendapat para ahli ilmuan sosial mengenai sumber konflik dari sudut pandang politik, Mauric Duverger (Ideologi Politik), Mark dan Snyder (Posisi dan Sumber), David Schwartz (Alienasi Politik).
Ketika kita memasuki jaman reformasi, munculnya beberapa ideologi sekterian yang berhubungan dengan hakekat kekuasaan dan pelaksaanaannya, disamping cenderung menyatukan komunitas religinya. Ada komunitas yang nasionalis religius, ada pula komunitas politik yang fanatisme religius, ada juga nasionalis sekuler, ada juga sosial demokrat. Bilamana masing-masing ideologi berada bersama dan setiap ideologi itu tergantung pada dukungan salah satu bagian dari komunitasnya maka ini merupakan sumber antagonisme atau konflik. Siasat, strategi dan gerilya politik kelompok fanatisme religius untuk menempatkan Piagam Jakarta sebagai satu-satunya ideologi sebagai pengganti Pancasila merupakan bagian dari antagonisme politik melawan kaum nasionalis yang mempertahankan Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam sejarah, kita melihat timbulnya DI/TII di Jawa Barat Kartosuwiryo, dan di Aceh Daud Baureh yang menuntut negara berdasarkan Syariat Islam, lahirnya RMS (Republik Maluku Selatan/Serani=Nasrani) oleh Dr. Soumokil menuntut negara Kristen. Yang dampaknya masih signifikan dengan dinamika politik kini.. Sedangkan perpecahan konflik bisa timbul dari kelangkaan posisi dan sumber-sumber, bahwa sumber-sumber kekuasaan di pusat diisi oleh satu komunitas tertentu dan sumber yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah orang yang menempati posisi dan meraih sumber kekuasaan itu maka kemungkinan berkembangnya suatu konflik besar sekali, misalnya kita sering melihat lembaga demokrasi Indonesia tercoreng menjadi tempat beraksi premanisme politik pada saat sidang tahunan. Sementara konflik yang disebabkan oleh alienasi politik, bahwa nilai politik yang kita anut secara resmi itu berbeda dengan nilai yang ada pada suatu kemajemukan suku dan bangsa sehingga komunitas tertentu di daerah merasa teralienasi secara politik. Barangkali ada tiga thesis yang di ajukan diatas dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk melihat sumber-sumber konflik di Indoensia.
Beberapa tahun terakhir ini mulai nampak menguaknya tribalisme, sektarianisme, regionalisme merupakan jawaban atau ekspresi terhadap terbungkamnya hati nurani rakyat sepanjang orde baru, indoktrinasi ideologi negara-bangsa dengan kebijakan uniformitas diatas kebinekaan bangsa ketika itu ternyata paradoksikal dengan upaya membangun bangsa dengan menampilkan keanekaragaman menjadi sumber daya yang dapat diandalkan.
Kini tinggal bagaimana pemerintah mencari suatu resolusi konflik yang dapat menentukan semua pihak yang bertikai, barangkali lebih tepat jika mencari resolusi dengan diinspirasi oleh sebuah adagium Jawa Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake yang artinya bermain tanpa bola dan menang tanpa mengalakan lawan. dari berbagai sumber (Tinus Pigai)
Selengkapnya...


Jika kita berbicara mengenai Papua kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, penuh masalah, mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional. Saban hari Media Massa Nasional sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan masa depan Papua yang mampu membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik, sejahtera, aman dan tenteram. Jika seandainya pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus dan negatif adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini maka siapakah yang harus bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain sebagainya itu? Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap radikalisme dan represi militer para pejuang TRIKORA ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated), sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan sendiri. Hal ini bertolak belakang dengan keinginan Ir. Soekarno yang ingin memerdekakan Manusia Papua agar mereka menjadi tuan di tanah mereka sendiri.
Pemikiran diatas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, akhibat penculikan dan pemunuhan oleh klik-klik misterius, pasukan berlaras lalu-lalang saban hari dari petanng dan pagi, adalah sia-sia dan suatu upaya yang tidak simpatik maka Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa akhibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemoni Militer dan Sipil).
Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem penetrasi termasuk Pemekaran, tetapi akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar yang harus di lihat yakni: Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah Papua yang merupakan bagian dari penyelesaian politik, Kedua, penyelesaian disparitas regional terutama ekonomi dan Sosial.



Trauma Yang Masih Berbekas
Konflik politik di Papua ini tidak begitu jatuh dari langit, ada akar historisnya dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa -demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan.
Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement.
Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif, hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara.
Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme dan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.
Oleh karena itu, saya menawarkan berikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia, kita lihat Kanada selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La francophonie keturunan Perancis namun selalu gagal akhirnya tidak mendapat simpati dunia.
Disparitas ekonomi dan Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam, namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong) namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu.
Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi, ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya, terutama misi pembangunan yang bernuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana pra-sarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan.
Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 2005 sebanyak 85% desa di Papua berada dibawah garis kemiskinan.
Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi antara lain; tingkat harapan hidup diperpendek, tinggkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit meraja lela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan Otonomi Khusus secara serius dan sungguh-sungguh.

Perlu Good Will dan Political Will
Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme dimasa lampau disertai dengan ketertinggalan sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung Anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau dan menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentu untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka.
Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet negeri adi kuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD); Rudal Balistik Luncur Darat Antar Benua, Kapal-kapal Selam berudal nuklir (polaris)dan Armada pemboman strategis disertai persenjataan lainnya saja bisa bubar seperti sekarang ini.
Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang; Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama RUNTUH, kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua; RUNTUH. Pada pertengahan abad ke 20 muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis yang menyerupai kedua kerajaan diatas yakni INDONESIA RAYA. (Tinus Pigai)
Selengkapnya...