Hampir lebih dari 39 tahun integrasi ke Republik Indonesia mereka jauh tertinggal dari seluruh aspek kehidupan. Papua identik dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan dan kebodohan. Siapakah yang harus bertanggungjawab atas keterbelakangan mereka? Ada kecendrungan integrasi sebatas Sumber daya Alam sementara sementara manusianya diabaikan merana diatas kelimpahan sendiri. Pemikiran inilah yang mendorong saya untuk menganalisis bagaimana sudut pandang dan kemurnian hati para pendiri bangsa terhadap bangsa Papua yang kini telah di salah tafsirkan oleh Pemerintah Orde Baru hingga Kabinet Gotong Royong.
Sukarno dan Retorika
Keamanan harus, harus sekali lagi dipulihkan dalam tahun ini, dan tidak boleh tungguh sampai tahun datang-dan Irian Barat harus pula, harus, harus, tiga kali harus, dimasukan ke dalam kekuasaan Republik tahun ini, sebelum ayam jantan berkokok 1 Januari 1963, ......kita menghantam hancur lebur imperialisme Belanda di Irian Barat. Tahun lain, kesempatan lain tidak akan segera datang lagi!.(Benedict Anderson, 1999, hal.vii). soal keamanan dalam negeri, sandang pangan adalah urusan belakangan, makan atau pun tidak rakyat; tua-muda, terlatih atau tidak harus, harus dipersenjatai menuju Amahai, pulau Gebe, pulau Gorong dan Pulau Aru di kep. Maluku sebagai garis terdepan (front liner) ke daerah sasaran Irian Barat. Adalah hasrat yang menggebu dengan tingginya sikap radikalisme dalam diri Ir. Soekarno, Faunding fathernya Indonesia. Diskripsi kartografis nusantara yang dahulu kala disebut Nusatutur adalah imajinasi negara kebangsaan atau imperium nusantara ketiga setelah runtunya Sriwijaya dan Majapahit pada beberapa abad yang silam. Hasrat Soekarno tersebut tidak hanya muncul pada akhir 50-an, namun disaat sidang PPKI 1945, sebelum Indonesia merdeka Hatta sering kali mengatakan Soekarno mulai menunjukan sikap-sikap imperialis sebelum Indonesia merdeka (A. Safroedin Bahar,1992.147).
Keinginan Soekarno dan para nasionalis Indonesia lainnya seperti Mr. Mohammad Yamin, Prof Dr. Supomo Cs yang mempertahankan negara unitarianisme diatas kebinekaan bangsa, multi kultur, religi, etnik dan peradabaan hidup. Seringkali Soekarno mengutip pemikiran Ernest Renan seorang ilmuan besar dari Sorborne University Perancis, Le desir de vivre ensemble bahwa bangsa itu timbul karena hasrat untuk ingin hidup bersama, sebab mengalami nasib dan pendritaan yang sama pada masa lampau yakni dibawah pendudukan kolonial Belanda bahkan Digul dijadikan sebagai tempat interniran pejuang merah putih di tahun 20-an dan 30-an pada abad yang lalu. Namun demikian, apakah sikap rakyat bumi putera di teritorial yang oleh Jakarta mengklaim sebagai bagian dari NKRI itu menerima dan menyetujui sikap para nasionalis Indonesia itu?. Apakah orang Papua telah menyatakan dengan nuraninya bahwa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari NKRI?. Mengapa ada kaum pemberontak (rebelian) di Papua?.
Pengalaman Timur Lorosae telah membuktikan bahwa hasrat bersatu hanya muncul secara sepihak antara lain didorong oleh sikap ultra-nasionalis yang ingin mengabaikan tuntutan, hati nurani, jeritan tangisan, ratapan, impian dan identitas pribumi. Kalau demikian adakah sesuatu yang salah dalam pembentukan karakter dan pembinaan bangsa (caracter and nation building) bagi mereka?.
Dua Penyebab Kebencian
Pertama, Trauma Historisme, Konflik politik di Papua ini tidak begitu jatuh dari langit, ada akar historisnya dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa -demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut PEPERA , dilaksanakan dibawah tekanan Indonesia, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif, hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, muncullah ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara , rakyat disekrin, dipaksa tandatangani, diinstruksi, tidak boleh ini harus begitu dan seterusnya dan seterusnya, praktik teror oleh klik-klik misterius agar menerima, menghormati, taat dan tunduk pada simbol-simbol negara-kebangsaan (nation-state). Rakyat diliputi rasa ketakutan totaliter. Karena itulah sepanjangh berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.
Kedua, Disparitas Ekonomi dan Sosial. Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam yang tiada tara nilainya, namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Dunia sudah mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya namun orang Papua (gunung) sedang berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century)masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu. Itu salah siapa? Mengapa mereka diintegrasikan kalau Jakarta tidak ingin membangun mereka? Dunia telah mengetahui bahwa manusia jaman batu itu ada di bumi Papua dan Papua adalah INDONESIA maka......(Teori Logika). Sejak awal integrasi, pemerintah Jakarta memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial. pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana pra sarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang tidak pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996 77% desa di Irian Jaya berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT. Sebagian besar orang Irian adalah bertani dan sayangnya sebagian tanah pertanian telah dikaplingkan oleh para penguasa misalnya pertanian seluas 8,65%, pemikiman penduduk 3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagaian besar tanah di Irian Jaya dimiliki oleh negara seluas 39.528.277 ha 993,36%) sehingga rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman yang basah karena itu dikawatirkan masa depan anak cucu yang akan merana diatas tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan mengandalkan pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal, pengiriman tenaga trampil dari luar dengan mengesampingkan tenaga kerja lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih kecil dari seharusnya menjadi pemicu kesenjangan misalnya PT. Freeport Indonesia. implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi antara lain; tingkat harapan hidup diperpendek, tinggkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit meraja lela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya maka adagiun unitarianisme menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu.
Dua Tantangan yang Pasti
Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? Adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme dimasa lampau disertai dengan ketertinggalan sosial ekonominya.Tidak ada niat baik dikandung penentu kebijakan untuk mengoreksi kesalahannya dan menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentu untuk mengobati duka lara, tangisan ratapan rintihan dan harapan mereka.
Akankah Indonesia tetap bertahan? Sekali lagi!. Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet negeri adi kuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD); Rudal Balistik Luncur Darat Antar Benua, Kapal-kapal Selam berudal nuklir (polaris)dan Armada pemboman strategis disertai persenjataan lainnya saja bisa bubar seperti sekarang ini. Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang. by Decnp(Tinus Pigai)
Selengkapnya...