pendahuluan
Menceritakan sebuah refleksi tentang nasib anak negeri dari masa ke masa terutama nasib anak negeri di bumi Cendrawasi. Maksud kami denga nasib anak negeri yakni manusia asli Papua. Nasib anak negeri menayangkan kepada kita suka-duka hidup dalam berkompetisi dengan pelbagai perubahan mulai dari tahun 1963 hingga sekarang, dengan maksud memjelaskan fakta perjalanan hidup bagsa Papua Barat semenjak berintegrasi dalam dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agar kita semua tahu betapa suka-dukanya semenjak beritegrasi dengan ras yang berbeda. Fakta ini tentunya akan memberi pencerahan kepada kita untuk merefleksikan kenyataan-kenyataan sosial yang memamg secara hakiki berbeda dan memang butuh pengahargaan dan pegakuan. Misalnya nilai-nilai budaya yang amat fundamental dan sangat berperan dalam membentuk watak dan perilaku manusia asli Papua. Nilai-nilai bidaya tersebut secara turun-temurun telah di alihkan ke generasi berikutnya atau dalam bahasanya Peter Belgert (Sosiolog), seseorang telah mengalami sosialisasi primer. Proses ini terjadi tentunya menanamkan segudang idiologi yang mempengaruhi perkembangan perilaku sehingga nampak dalam tindakan.

Dalam konteks kehidupan sosial, apakah manusia asli Papua sebagai homo socius (makluk sosial) harus mengasingkan diri dari semua perubahan dan fenomena sosial yang terjadi? Nyatanya tidak mungkin dan harus mengalami pembauran dan pembaharuan ketika berbenturan dengan sebuah perubahan sosial yang direncanakan ataupun yang muncul karena kebutuhan dan selera manusia. Manusia asli Papua ditantang untuk beradaptasi atau tereliminasi dari sebuah kompetisi perubahan yang terjadi.

Untuk lebih jelas, jika kita megamati secara cermat, arif dan bijaksana, serta mengkritisi eksistensi nasib anak negeri Masa Dulu. Masa kini, Masa Kelak sebagai sebuah refleksi menyeluruh untuk memberi masukkan kepada kita. Refleksi ini menempatkan manusia asli Papua sebagai titik berangkat untuk menggugat segala bentuk kebijakan baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun Lembaga Swasta dalam upaya membangun manusia Papua.
Untuk itu,lebih menarik jika kita kaji nasib anak negeri dalam ketiga konteks manusia yang kami kategorikan, sehingga menjadi jelas bagi kita semua yaitu: Papua masa Dulu, kini,dan akan dating.

Papua Masa Dulu
Masyarakat asli Papua secara adil maupun tidak adil berusaha mempersatukan Rakyat Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah saksi Pemerintahan Belanda. Papua masa dulu mengehendaki keadilan dan pemerataan pembangunan disegala sektor dengan memperhatikan/mempertimbangkan unsur kearifan budaya lokal dalam pembangunan tersebut. Harapan tersebut ternyata jauh dari kenyataan. Kita bisa mendengar cerita dan kisah perlakuan Masyarakat Asli Papua masa dulu, dari pelbagai kelompok masyarakat yang datang hidup bersama masyarakat asli Papua. Banyak praktek ketidakadilan terjadi mulai dari Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), Ekspoitasi Sumber Daya Alam, Diskriminasi dalam pelbagai pekerjaan dan jabatan birokrasi. Kini yang terjadi adalah sukuisme dalam penerimaan pegawai. Masyarakat Papua asli tidak ditempatkan sebagai subyek atau mitra strategis dalam pembangunan. Justru sebaliknya masyarakat asli Papua masa dulu ditempatkan sebagai obyek dan diberi stigma bodoh, terbelakang, tidak mampu, primitif. Semua stigma ini tidak memberi ruang-gerak yang baik kepada manusia asli Papua masa dulu untuk mengekspresikan diri sebagai anak bangsa. Banyak saksi sejarah masa dulu yang kini masih hidup. Mengisahkan perlakuan sesama Warga Negara Republik Indonesia ; yang menghuni Bumi Papua. Kini fakta pengelaman masa lalu itu dijadikan sebagai memoria passionis/kenangan masa lalu yang tidak akan terlupakan.

Hampir semua aspek kehidupan di sektor ekonomi, politik, birokrasi, diambil-alih atau dirampas tanpa adanya perlakuan yang adil terhadap masyarakat asli Papua masa dulu. Budaya monopoli disertai budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam pelbagai bidang kehidupan entah disektor ekonomi, dibidang politik (eksekutif dan legislatif), dalam dunia birokrasi, dsbnya. Hal ini tentunya menanamkan benih kebencian yang mendalam dan memunculkan kecemburuan sosial. Namun tidak ada ruang untuk mengekspresikan diri, maka mereka hidup tertekan, temarginal, tertindas bahkan terasingkan dalam lingkungan masyarakat. Budaya monopoli dalam pelbagai sektor yang kami utarakan tersebut, tidak memberi kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat asli Papua masa dulu untuk bersatu hati dan pikiran membangun daerah ini. Iklim ini tentunya menimbulkan kecemburuan sosial yang mendalam mulai dari rezim orde lama, ketika memasuki rezim orde baru pun masih terasa proses perlakuan terhadap masyarakat asli Papua. Nasib anak negeri ditekan, ditindas, diintimidasi, diteror serta diberi stigma, yang sangat mematikan daya kreatifitas, inisiatf serta daya inovasi manusia asli Papua. Proses ini tentunya menabur kebencian dan memunculkan krisis identitas bagi masyarakat asli Papua. Eksistensi sebagai anak Negeri tidak diakui, dihargai, dihormati oleh sesama anak Bangsa yang datang dengan harapan untuk membangun tetapi justru dalam kenyataan malah sebaliknya menindas, menekan, menopoli serta mematikan potensi manusia Papua masa lalu. Itulah realitas sejarah-memoria passionis yang selalu dikenang oleh manusia asli Papua yang mendiami bumi cendrawasih. Fakta menggariskan bahwa akar-akar konflik masa lalu yang masih bercokol hingga sekarang yakni suasana peralihan (budaya), suasana kependudukan (Kemajemukan), suasana sosial ekonomi (Kesejahteraan), Suasana Sosial Politik (hak-hak dasar). Bagi kami keempat point ini merupakan sumber konflik yang tetap terpelihara secara sistimatis hingga sekarang. Namun inti akar konflik ini masih diperparah dengan tiga unsur lain yang cukup dominan yakni Perebutan Kedudukan, Mental Proyek, dan Kerusakan Lingkungan. Ketiga unsur pokok yang amat mempengaruhi juga dinamika kehidupan masyarakat asli Papua masa dulu, masa kini dan masa nanti

Papua Masa Kini
Dalam Benak kita muncul pelbagai macam gerakan sosial karena budaya reformasi telah digulirkan. Iklim reformasi ini memberikan angin segar bagi rakyat sipil untuk mengekspresikan diri dalam pelbagai aspek kehidupan. Dalam konteks Papua, gema dan gaung Otonomi Kusus diterapkan sebagai “Obat Mujarab/manjur” yang diharapkan mengobati pelbagai macam penyakit sosial yang muncul di tengah masyarakat. Dua rezim yakni rezim orde baru dan rezim reformasi memberi peluang bagi segenap rakyat untuk mengekspresikan diri dalam hidup berdemokrasi di negara kita. Sayangnya, iklim kehidupan berdemokrasi yang telah digulirkan tersebut, tidak dimanfaatkan secara adil dan merata oleh semua masyarakat sipil.
Masyarakat Papua masa kini justru mengalami keterpurukan dan keterasingan dari budaya, alam disekitarnya. Akibat keterasingan menimbulkan krisis identitas/jatidiri sebagai manusia asli Papua; sehingga nasib anak negeri tetap dirundung duka di era otonomi kusus. Sektor-sektor prioritas dalam era otonomi kusus seperti prioritas pembangunan di sektor Infra Struktur, Kesehatan, Pendidikan, serta Pemberdayaan ekonomi Kerakyatan; ternyata masih jauh dari harapan kita bersama. Nasib anak negeri masih dirundung nestapa dan duka yang mendalam karena sektor-sektor prioritas yang dibangun belum memberikan rasa keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, kepada masyarakat asli Papua. Alokasi dana Otonomi Kusus dari tahun ke tahun mengalami peningkatan antara lain Tahun 2002 Rp 1. 382. 282. 500. 000; Tahun 2003 Rp 1. 539. 560. 000 000; Tahun 2004 Rp 1. 642. 617. 943. 000; Tahun 2005 Rp 1. 775. 312. 000 000; Tampilan data alokasi dana Otsus mengingatkan kepada kita tentang betapa royalnya Pemerintah Pusat memberikan perhatian pembangunan kepada rakyat Papua. Namun harapan yang kita alami, jauh dari kenyataan tersebut. Apakah alokasi dana tersebut sesuai dengan bidang-bidang yang diprioritaskan? Dalam kenyataan dan mengacu pada data yang kami himpun, banyak masyarakat masih mengeluh tentang kinerja Pemerintah dalam memberikan pelayanan yang prima kepada rakyat sesuai sektor yang diprioritaskan? Masyarakat masih hidup dalam suasana sulit mendapat akses kemudahan pelayanan disektor-sektor yang telah diprioritaskan dalam UU Otonomi Khusus. Sektor pemberdayaan ekonomi kerakyatan, masih kita temukan di pasar-pasar terjadi bahwa banyak mama-mama Papua tidak diberikan tempat yang layak untuk berjualan. Mereka menjual dibawah lantai atau ditrotoar. Mereka tidak diberi modal usaha yang baik. Banyak Mama Papua yang menggunakan pasar obor malam untuk berjualan. Di pasar terjadi monopoli karena ibu-ibu yang telah menyewa barak atau tempat jualan menjual barangnya. Situasi ini menimbulkan kecemburuan sosial.

Sektor pelayanan kesehatan juga memunculkan fakta pelayanan kesehatan yang kurang prima dari Pemerintah Daerah terhadap masyarakat. Berikut ini kami paparkan sebagian kecil tanggapan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas di Kabupaten Sorong. Potret pelayanan kesehatan di Kabupaten Sorong.

Contoh : Penilaian masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas di kab paniai. Ada beberapa alasan masyarakat berobat di Puskesmas, diantaranya; biaya lebih murah (200 jawaban), tidak ada pelayanan kesehatan lain (90 jawaban), dan juga beberapa alasan lain seperti obat lebih manjur, dan juga karena faktor dekat dengan rumah, Kelebihan pelayanan kesehatan di Puskesmas menurut responden adalah biaya terjangkau (290 jawaban), 88 jawaban menilah proses berobat di Puskesmas mudah, dan 58 jawaban mengatakan dokter, bidan selau ada dan siap membantu, dan 23 jawaban berpendapat fasilitas Puskesmas memadai.

Namun begitu, selain kelebihan yang tersebut diatas, ada juga beberapa kelemahan atau kekurangan dalam pelayan Puskesmas. Kebanyakan responden menilai kelemahan atau kekurangan pelayanan Puskesmas diantaranya; obat tidak terjangkau, bangunan Puskesmas kumuh dan kotor, dokter dan bidan selalu tidak ada, pelayanan tidak cepat tanggap, obat tidak manjur, prosedur berobat lama, dokter dan bidan tidak ramah dan fasilitas kurang.

Menyangkut kesiapan dari sarana dan prasarana (kondisi bangunan fisik dan fasilitas) Puskesmas, responden menilai bahwa tempat duduk yang disediakan di ruang tunggu masih terbatas, dan tidak ada kotak saran, ada banyak orang berpendapat bahwa ruangan di Puskesmas kumuh dan kotor, sedangkan ada banyak orang mengatakan di Puskesmas tidak ada tempat parkir.


Selain aspek tangible (bukti fisik) yang dianggap kurang oleh responden, aspek lain seperti responsiveness (daya tanggap) juga belum memuaskan respoden. banyak responden merasa bahwa dokter, bidan dan perawat yang ada di Puskesmas tidaklah mencukupi, responden juga menilai dokter, bidan dan perawat tidak tanggap (89 responden) dan 91 responden merasa dokter, bidan dan perawat tidak meyakinkan pasien. Beberapa responden (35 orang) juga menilai bahwa dokter, bidan dan perawat tidak ramah.
Meskipun 28 responden menilai prosedur berobat di Puskesmas tersebut jelas, pasti dan sederhana, namun 56 responden berpendapat prosedurnya jelas tetapi berbelit-belit. 39 responden mengeluh bahwa tidak ada prosedur yang diumumkan, 16 responden menilai prosedur tidak jelas dan tidak pasti dan ada 10 responden yang menjawab prosedur tergantung dokter. (Sumber Orang bidang desa,bides paniai)
Fakta ini membeberkan kepada kita tentang keseriusan Pemerintah Daerah dalam melayani masyarakat. Dari uaraian ini ternyata maih terdapat kekuarangan serta keluhan-keluhan atas pelayanan publik. Harapan masyarakat masih jauh dari kenyataan yang dihadapi. Hal ini tentunya memberi penegasan kepada kita untuk bertanya : Sejauhmanakah adanya sikap atau kemauan baik dari Pemerintah Daerah untuk membangun rakyatnya? Pertanyaan ini tentunya bertautan dengan judul tulisan ini yakni :Anak Negeri Menggugat Eksistensinya di era otonomi Kusus. Dalam konteks ini gugatan tetap dilayangkan oleh masyarakat asli Papua terhadap kinerja dan pola pelayanan serta kebijakan Pemerintah Daerah dengan menggunakan alokasi dana Otsus untuk membangun masyarakat Papua sebagai sasaran utama dari penggunaan dana tersebut. Hak masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, masih jauh dari harapan kita bersama. Belum ada kemauan baik serta keseriusan dari Pemerintah Daerah untuk membangun rakyatnya secara bertanggung-jawab. Yang ada hanyalah mental proyek, ambisi kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam yang rawan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Rakyat tetap miskin, tertinggal, terbelakang hingga saat ini.

Papua Masa Mendatang
konteks seperti diatas ini, kita bisa bertanya : Manakah kebijakan Pembanguanan yang diharapkan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan ketika sebuah kebijakan diterapkan?
Manusia asli Papua mendatang adalah manusia yang butuh pengakuan akan eksistensi dalam pelbagai sektor kehidupan yang ada di tanah Papua. Semua aspek kehidupan yang menjadi roda penggerak kemajuan didaerah Papua sebaiknya dikembalikan pada proporsi yang sebenarnya.
Dengan melihat fakta sosial yang ada, masyarakat asli Papua butuh pengakuan akan eksistensinya yang selama ini terkesan di rampas dan dimonopoli oleh sesama manusia. Bukan praktek monopoli atau merampas yang diterapkan dari masa dulu, kini dan kelak, tetapi penghargaan dan pengakuan kepada masyarakat lokal untuk menjadi tuan di negeri sendiri patut digalakan.
Dalam konteks ini sektor ekonomi, sektor politik (Jabatan Eksekutif maupun Legislatif) hendaknya diprioritaskan kepada Putra Asli Papua. Namun kenyataannya tidak konsisten dan konsekuen menerapkan UU Otonomi Kusus maka secara deyure produk hukum juga tidak terapkan secara baik dan benar di cendrawasih.
Akhirnya Sektor-sektor strategis yang diprioritaskan dalam UU Otsus yakni Sektor Infra Struktur, Sektor Pendidikan, Sektor Kesehatan, dan Sektor Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, juga belum diimbangi dengan kebijakan strategis yang mengakomodir serta menjawab kebuntuan masyarakat asli Papua. Tidak ada kemauan baik serta komitmen dari Pemerinta Daerah untuk dengan kesungguhan hati membangun masyarakat asli Papua,karena sebuah pepata mengatakan bahwa: Ketika ada kemauan baik serta keseriusan yang dilandasi oleh ketulusan hati, maka tingkat kesejaheraan hidup masyarakat asli Papua tercapai. Hal ini realitas harapan yang telah digagalkan. Untuk itu disini memberi judul : “Menggali Masyarakat Asli Papua tentang Eksisitensinya dalam Implementasi UU Otsus 2001-2010” sebelum merefisi UU Otsus periode kedua di tanah papua.
Sebagai akhir kata dari kami,Semoga goresan ini dapat memberikan pencerahan serta bermanfaat bagi setiap aktor perubahan yang menghendaki perubahan kearah hidup yang lebih baik dan bermartabat di masa mendatang melalui Era Otsus di tanah papua. Sumber: E. Yumte dan berbagai sumber.. (Tinus Pigai)

Selengkapnya...